Arsip

Posts Tagged ‘Peluang Bisnis’

Peluang Bisnis Dim Sum

Januari 5, 2011 1 komentar

Penggemar makanan kecil tradisional China ini cukup banyak. Karena itu potensi pasarnya cukup menggiurkan. Kunci sukses berbisnis makanan yang khas ini adalah kemampuan untuk menyediakan menu beragam dengan kualitas rasa prima.

Makanan ringan seperti siomay, bakpao, lumpia, dan pangsit sudah lama dikenal dalam dunia kuliner Indonesia karena rasanya yang pas dengan lidah kita. Sebenarnya, makanan-makanan tersebut merupakan bagian dari jenis makanan kecil asal China yang biasa disebut dim sum. Variasinya sangat banyak dan biasa tersaji di restoran china.

Dim sum biasa disajikan dalam krakat atau kukusan bambu. Camilan sarapan ala China Selatan ini biasa dijual per krakat berisi dua–empat dim sum.

Lantaran banyak penggemar, peluang usaha dim sum pun menganga lebar. Sekarang penjual dim sum bertebaran. Maklum, menurut para pelakunya, keuntungan berjualan dim sum tak kalah lezat dari rasanya.

Tengok saja pengalaman Sarono, pemilik Kurnia Dim Sum di Jakarta. Omzet Surono dari bisnis ini sudah mencapai Rp 40 juta per bulan. Setelah dipotong biaya operasional, laba bersih yang ia bawa pulang sekitar 40% dari omzet.

Mantan koki restoran ini sudah merintis usaha dim sum sejak 1994. Berawal dari kantin kecil di sebuah sekolah dan tenda di Senayan, kini Sarono memiliki kedai di food court Gedung Panin, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. Ia juga membuka katering dim sum.

Rezeki mengalir pula ke Dim Sum Kampoeng, restoran yang bertengger di Jalan Pajajaran 43B, Bogor, Jawa Barat. Baru berjalan kurang dari dua tahun, restoran ini sudah mampu meraup omzet rata-rata per bulan Rp 25 juta–Rp 30 juta. Adapun margin keuntungan sekitar 20%–30% dari omzet. “Semula kami memprediksi balik modal dalam lima tahun, tapi ternyata setelah setahun sudah kembali modal,” kata Okki Ariana, satu dari empat pemilik Dim Sum Kampoeng.

Zuhri Ardiyanto pun sudah mencecap legitnya berbisnis dim sum. Mirip dengan kisah sukses Sarono, Zuhri sebelumnya karyawan di kedai dim sum yang memutuskan membuka usaha sendiri. Dia pernah mendirikan kedai bernama Raja Dimsum di sebuah mal di Bandung pada tahun 2006 dengan modal Rp 10 juta. Usahanya berkembang pesat hingga mencapai omzet Rp 30 juta per bulan. “Saya melepas kedai itu di tahun 2009 karena ada yang bersedia membeli dengan harga tinggi,” papar Zuhri.

Dia lantas mendirikan lagi kedai dim sum di mal berbeda, masih di Bandung. Saat ini, usahanya sudah berjalan setahun. Omzetnya rata-rata Rp 9 juta per bulan dengan laba bersih sekitar Rp 3 juta.

Ada juga Yenny yang baru menjajal usaha ini beberapa bulan lalu. Dia melihat peluang besar untuk membuka kedai dim sum di Sidoarjo karena selama ini kedai sejenis belum ada di Kota Lumpur itu. Alhasil, meski baru enam bulan membuka usaha, Yenny sudah mengantongi omzet sekitar Rp 10 juta dan mengiris laba bersih Rp 4 juta sebulan.

Menurut Okki, bisnis makanan dim sum masih sangat menjanjikan. Ada beberapa alasan yang mendasari pendapat itu.

Pertama, variasi makanan sangat banyak sehingga terbuka kesempatan bagi penjual ber-inovasi terus-menerus.

Kedua, laba bisa mencapai 20% dari pendapatan.

Ketiga, pemain di bisnis ini belum terlalu ramai sehingga persaingan tidak terlalu ketat.

Keempat, pasar juga masih terbuka luas dan belum banyak tergarap.

Nah, apakah Anda berminat menggeluti bisnis makanan mungil ini? Tunggu dulu, sebelum memulai usaha, pengalaman para pelaku usaha berikut ini mungkin akan membantu Anda. Simak ulasannya berikut ini.

Modal

Satu hal paling awal yang harus Anda pikirkan sebelum mengawali bisnis adalah memperhitungkan kebutuhan modal. Seperti halnya bisnis makanan lain, modal yang harus disiapkan antara lain sewa lokasi gerai, etalase, meja, dan kursi, serta peralatan memasak dan perkakas hidangan.

Biaya sewa lokasi gerai berbeda-beda. Sebagai gambaran, Yenni yang membuka usaha di Sidoarjo membutuhkan dana Rp 20 juta per tahun untuk menyewa ruangan berukuran 10 meter x 4 meter. Di Jakarta, sewa tempat seluas itu tentu jauh lebih mahal. Sebagai langkah awal, tak ada salahnya Anda memulai dengan ruang berukuran 2 meter x 4 meter.

Gerai harus diisi perabotan seperti etalase, meja, dan kursi. Sebagai gambaran, Okki menjelaskan, kedai berukuran 30 meter persegi (m²) sampai 40 m² dengan daya tampung sekitar 20 orang hingga 30 orang, dana perlengkapan yang harus disiapkan sekitar Rp 25 juta.

Peralatan masak juga harus Anda siapkan. Peralatan masak standar berupa kompor gas, wajan, dan panci pengukus. Jangan lupa sediakan freezer agar dim sum Anda bisa bertahan hingga tiga hari.

Selain itu Anda juga harus menyediakan peralatan makan terdiri dari krakat, piring, sendok, garpu, sumpit, dan mangkuk sambal. Peralatan masak plus makan tersebut butuh modal sekitar Rp 10 juta.

Variasi menu

Kalau Anda sendiri tak bisa membikin dim sum yang enak, pekerjakan koki yang memang bisa dan biasa meracik camilan ini. Maklum, jenis dim sum sangat banyak. Umumnya penjaja dim sum hanya menjual beberapa jenis. Namun, semakin variatif menu yang Anda tawarkan, semakin senang pelanggan datang.

Sarono, ambil contoh, menjual sembilan jenis dim sum termasuk hakau, siomay, cikau, bakpau, lumpia, kaikiok, maco, hatausi, dan baso. Begitu pula dim sum Kampoeng, menu yang mereka pasang tak jauh berbeda dengan Sarono. Cuma, di sini tersedia spring roll dan tahu seafood.

Satu porsi dim sum biasanya berisi dua atau empat buah makanan. Harga bervariasi antara Rp 7.000?Rp 11.000 per porsi.

Sebagai pelengkap sajian, siapkan pula sambal atau saus khusus untuk dim sum. “Saus bisa beli, tapi perlu ditambah bumbu khusus agar rasanya lebih sedap,” kata Sarono.

Bahan baku pembuatan dim sum tak terlampau sulit diperoleh. Bahan baku utama camilan ini antara lain tepung kanji, sayuran, ayam, dan udang. Selain itu tepung tamien untuk membuat kulit dim sum, kecap, dan minyak wijen. “Beberapa bahan baku tersebut memang merupakan barang impor dari China,” kata Sarono.

Lokasi dan pasar

Meski peminat dim sum sudah mulai banyak, jenis makanan ini belum terlalu populer di masyarakat. Jadi Anda harus benar-benar jeli memilih lokasi usaha sesuai dengan target pasar.

Sarono menyarankan agar Anda memilih lokasi usaha yang berdekatan dengan pusat keramaian. Ia mencontohkan daerah perkantoran atau kawasan tempat olahraga.

Lokasi lain yang cocok, menurut Zuhri, adalah pusat perbelanjaan alias mal. Selain itu, kompleks perumahan juga pas. “Lokasi yang jauh dari keramaian juga bisa, asalkan target pasarnya jelas dan mereka memang ingin bersantap dengan situasi yang tenang dan nyaman,” imbuh Okki.

Yang terang, sebelum memilih lokasi usaha, Anda harus mempertimbangkan target pasar yang Anda bidik. “Lokasi tinggal menyesuaikan segmen pasarnya,” tutur Zuhri.

Zuhri sendiri mengincar segmen pasar menengah atas. Oleh sebab itu ia membuka kedai dim sum di pusat perbelanjaan.

Begitu pula Okki. Ia dan kawannya membuka usaha dim sum di kawasan elite Bogor lantaran target pasar Dim Sum Kampoeng adalah keluarga muda menengah atas yang mencari camilan bergizi untuk keluarga. “Kami juga membidik segmen khusus yang kami sebut dim sum lover,” urainya.

Jenis pelanggan ini biasanya loyal dan tahu persis kualitas dim sum yang baik. Jadi, mereka tidak terlalu mempermasalahkan soal harga.

Strategi pemasaran

Kualitas produk dan harga yang bagus tidak akan ada artinya apabila Anda salah menerapkan strategi pemasaran. Salah satunya adalah memberikan pelayanan yang baik dan ramah ke pembeli supaya mereka bisa menjadi pelanggan setia Anda.

Kalau sudah mendapatkan banyak pelanggan, Anda juga harus bisa menjaga hubungan baik dengan mereka. Kiat Sarono bisa ditiru. Dia rajin membagi kartu nama dan nomor telepon kepada pelanggan. Jadi, si pelanggan bisa menghubungi dia kapan saja membutuhkan.

Cara promosi lain adalah menyebar brosur soal kedai dan produk Anda. Anda juga bisa memasang iklan di media massa atau lewat internet. Buatlah situs atau blog tentang kedai Anda. Jika ada yang tertarik, mereka akan menelepon atau datang langsung.

Memanfaatkan situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, atau Foursquare juga bisa dilakukan. Cara promosi ini telah dilakukan Dim Sum Kampoeng. Bagi segmen pasar dim sum lover, Dim Sum Kampoeng juga memberi pelayanan spesial berupa penawaran paket-paket promosi yang menarik bagi mereka.

Selamat berbisnis dim sum. Semoga lekas balik modal. (peluangusaha.kontan.co.id)

Peluang Bisnis Jaket Bertudung

Selain dengan corak, permintaan jaket bertudung (hoodie) tanpa corak pun terus mengembang. Maklum, tak adanya corak bisa memaksimalkan kreativitasnya. Selain itu, harga hoodie polos juga lebih miring. Dalam sebulan, para produsen hoodiepolos ini mampu meraup omzet hingga belasan juta rupiah.

Konsumen anak-anak muda kerap menjadi pasar empuk bagi para produsen. Maklum, kalangan remaja lebih dinamis mengikuti tren gaya terbaru.

Begitu pula dengan tren berpakaian. Tak hanya celana jeans dan kaos oblong, jaket yang lengkap dengan tudung kepala atau hoodie juga menjadi buruan kaum muda. Tengok saja, penjualan hoodie di beberapa gerai distro di Bandung cukup laris.

Selain dengan corak, kini produsen jaket bertudung juga menawarkan hoodie polos. Dwi Ikhsan, pemilik Zero Clothing and Production, menuturkan bahwa hoodie polos ini lebih ramah di kantong anak muda karena berharga sedang-sedang saja.

Dwi menjual hoodie polos ini dengan harga berkisar antara Rp 60.000 hingga Rp 80.000 per unit. “Itu belum termasuk ongkos pengiriman,” ujarnya.

Selain harga yang lebih murah, jenis jaket berkerudung ini juga beragam. Hoodie polos juga ditawarkan dalam bentuk single zipper (tudung tunggal), double zipper (tudung berlapis dengan dua resleting), hinggacardigan bertudung.

Apalagi, menurut Rizqi Sukmana, pemilik IQ Clothing, konsumen menyukai hoodie polos lantaran bisa berkreasi sendiri untuk mewujudkan hoodie impian. “Mereka bisa memodifikasi warna zipper, tali pengencang hoodie serta warna bahan jaket,” ujarnya.

IQ Clothing merupakan distributor salah satu produsen hoodie asal Bandung. Perusahaan ini menawarkan jaket bertudung ini dengan harga mulai Rp 80.000 per unit.

Meski pemain hoodie polos sudah banyak, baik Dwi maupun Rizqi sepakat mengatakan, permintaannya tak pernah surut. “Pesanan tetap datang,” ujar Dwi.

Dalam sebulan, Dwi mampu meraup omzet rata-rata Rp 15 juta. Sementara itu, Rizqi bisa membukukan pendapatan hingga Rp 8 juta per bulan. “Padahal bisnis ini baru mulai sejak akhir tahun lalu,” ujar Rizqi.

Untuk memproduksi hoodie ini, Dwi membutuhkan satu hingga dua rol bahan fleece tiap bulan. Harga bahan fleece diukur dari beratnya. Tiap rol dengan berat 25 kilogram (kg) dibeli dengan harga Rp 60.000 per kg. “Jadi, belanja bahan jaket ini mencapai Rp 1,5 juta per bulan,” terang Dwi.

Dalam melayani konsumen, baik Dwi dan Rizqi tak mematok jumlah minimal pemesanan. “Meski hanya pesan satu, kami tetap mengerjakannya,” terang Dwi. Untuk membuat hoodie ini mereka membutuhkan waktu satu hingga tiga hari, tergantung jumlah pemesanan.

Tak hanya melayani warga Bandung dan sekitarnya, Zero Clothing juga kerap memenuhi pemesanan dari kota-kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Bali, hingga Banjarmasin. “Kebanyakan mereka adalah reseller,” ungkap Dwi.

Adapun pasar IQ Clothing, selain kota-kota di atas, juga menjangkau Pontianak, Kalimantan; dan Manado, Sulawesi. Pesanan mencapai puncak menjelang libur hari raya, akhir tahun serta tahun ajaran baru dengan pemasaran melalui internet. (peluangusaha.kontan.co.id)

Peluang Bisnis Mebel Jati Belanda

Januari 4, 2011 2 komentar

Daur ulang menjadi frasa yang makin penting di kehidupan manusia. Tak heran, kini berbagai daur ulang dilakukan. Tak hanya pada produk-produk kemasan, daur ulang juga terlihat pada industri furnitur. Penggunaan kayu bekas sudah menjadi hal yang biasa di kalangan konsumen.

Seiring maraknya pembangunan rumah, gedung perkantoran, pusat bisnis, apartemen, hotel dan sekolah, kebutuhan furnitur atau mebel juga terus bertambah. Tentu saja, tingginya permintaan furnitur ini berimbas pada makin banyaknya kebutuhan kayu.

Padahal, pasokan kayu untuk furnitur terus menyusut. Produksi kayu tak sebanding dengan tingginya permintaan. Selain itu, peningkatan permintaan itu mengakibatkan harga kayu makin mahal.

Hal itulah yang membangkitkan semangat para produsen furnitur untuk memanfaatkan kayu bekas. Salah satu kayu bekas yang bisa dipakai untuk bahan furnitur adalah kayu yang berasal dari bekas peti kemas. Asal tahu saja, bahan peti kemas ini biasanya berasal dari kayu yang sering disebut jati belanda.

Meski sama-sama kayu jati, jati belanda ini lebih ringan daripada kayu jati pada umumnya. Warnanya juga cenderung lebih cerah karena biasanya diproduksi dari pohon jati yang masih muda.

Namun, yang terpenting, harga kayu bekas ini lebih murah ketimbang kayu jati. Maklum, kayu jati belanda tak sekuat kayu jati biasa. Lantaran murah dan ringan, kayu jati belanda cocok untuk peti kemas.

Menurut Yuli Sanusi, pemilik Nugraha Furniture di Jakarta Timur, serat kayu pada kayu jati belanda lebih terlihat dibanding kayu jati menjadi kelebihan lainnya. Malah, mata kayu yang sering terlihat, bisa menjadi aksen khusus.

Para produsen furnitur dari kayu peti kemas ini biasanya mendapat pasokan bahan baku dari para pedagang kayu bekas di sekitar pelabuhan peti kemas. Yuli biasa mendapatkan pasokan bahan baku dari pedagang langganannya di sekitar Pulogadung dan lokasi gudang peti kemas lainnya.

Soal harga, cukup beragam, tergantung dari ukuran kayu. “Paling murah harganya Rp 1.000 per batang,” kata Yuli. Maklum, lantaran barang bekas, tak ada standar ukuran seperti kayu produksi lainnya. Selain itu, kayu bekas peti kemas ini memiliki berbagai bentuk, dari mulai serpihan hingga papan-papan. Nah, harga
Rp 1.000 itu untuk kayu bekas peti kemas berbentuk papan dengan ukuran panjang 65 sentimeter (cm) dan lebar 8 cm.

Dalam setengah bulan ini saja, Yuli biasa menyediakan pasokan bahan baku kayu bekas ini hingga Rp 20 juta. Yuli memulai bisnis furnitur dari kayu peti kemas ini sejak 1998. Sampai saat ini, ia merasakan peningkatan permintaan yang cukup besar. “Dulu, mungkin orang belum familiar dengan kayu peti kemas ini. Jadi, penjualannya jauh berbeda dibandingkan dengan sekarang,” kata Yuli.

Ia bilang, dari penjualan produk furnitur ini, bisa meraup omzet rata-rata Rp 75 juta per bulan. Nugraha Furniture memproduksi meja, kursi, lemari, tempat tidur hingga kitchen set. “Apa pun perkakas yang berbahan kayu, kami bisa membuatnya,” ujarnya sambil berpromosi.

Selain menerima gambar rancangan dari para pelanggan, Yuli juga menyediakan contoh desain untuk para konsumen. Pelanggan furnitur kayu peti kemas Yuli sudah tersebar di Jabodetabek. “Bahkan, ada juga konsumen yang datang dari Bandung dan Tasikmalaya,” ujarnya.

Kini, Yuli memiliki dua showroom yang masing-masing berlokasi di Kalimalang dan Jatiasih. Untuk mengerjakan pesanan, Nugraha Furniture memperkerjakan 11 tukang kayu dan 12 karyawan di bagian finishing untuk menghaluskan dan melapis warna furnitur.

Tak hanya di Jakarta, produsen mebel dari kayu peti kemas juga terdapat di Yogyakarta. Fajar Suryo Isworo, pemilik Equator Design Studio di Yogyakarta menyebut usahanya sebagai green design furniture dengan konsep 3R (reduce, reuse, dan recycle). “Kami ingin mengurangi penebangan pohon,” kata pria yang berusia 22 tahun ini.

Meski pernah menjadi negara dengan pohon yang melimpah, lanjut Fajar, Indonesia kini sudah masuk dalam Guinness Book World of Records sebagai salah satu deforester atau negara penghancur hutan terbesar di dunia.

Karena itu, arsitek lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini ingin lebih fokus pada produksi furnitur dengan memanfaatkan kayu-kayu bekas. “Selain kualitasnya yang bagus dan awet, kayu bekas peti kemas ini juga murah,” kata Fajar.

Sebagai perbandingan, jika mebel berbahan kayu jati belanda ini harganya Rp 1 juta, bila dibuat dari kayu jati baru harganya bisa mencapai Rp 2 juta. Hampir dua kali lipat perbedaan harganya. Fajar mendapatkan pasokan kayu bekas ini dari berbagai pelabuhan peti kemas yang ada di Indonesia.

Berbeda dengan Yuli, Fajar bilang, minat konsumen yang menggunakan kayu bekas ini masih minim. “Pasalnya, citra bahan kayu bekas ini masih terlihat kurang di konsumen,” ujarnya.

Padahal, imbuh Fajar, jika kayu bekas itu sudah dipoles menjadi furnitur, tampilannya tidak kalah menarik dengan mebel yang menggunakan kayu baru. Hanya, memang, jika dibandingkan dengan kayu multipleks melamin, variasi dari kayu jati belanda masih terbilang minim.

Selain itu, berbeda dengan melamin, kayu bekas kurang bagus bila dicat. Jadi, pewarnaan pada kayu jati belanda lebih menekankan pada warna-warna natural atau cat pernis saja.

Fajar mengatakan bisa mendapat omzet sekitar Rp 20 juta setiap bulan. “Perhitungan harga furnitur kayu bekas itu per meter lari. Harga satu meter lari Rp 1 juta,” kata Fajar. Selain di Yogyakarta, Fajar juga membuka workshop pembuatan mebel kayu peti kemas ini di Tangerang. (peluangusaha.kontan.co.id)

Peluang Bisnis Kemitraan Pizza

Januari 4, 2011 1 komentar

Makin banyak lidah orang Indonesia yang menyukai piza. Tengok saja, tiap akhir pekan, gerai-gerai yang menawarkan piza selalu ramai pembeli. Meski bukan makanan asli warisan nenek moyang kita, makanan asal Italia ini sudah menjadi salah satu camilan yang sangat populer di negeri ini, terutama di kota-kota besar.

Saat ini banyak sekali gerai piza yang menawarkan kekhasan masing-masing dalam meracik piza. Mulai dari yang mengusung merek lokal hingga merek impor. Baik yang mengusung sistem waralaba hingga yang berdiri sendiri.

Dari beberapa gerai yang menawarkan waralaba ini, KONTAN mencoba memberikan penyegaran kembali tentang kondisi mereka saat ini. Kami membandingkan, kondisi saat KONTAN pernah menulisnya dulu, dengan perkembangannya kini.

Papa Ron’s Pizza

Papa Ron’s Pizza merupakan salah satu waralaba lokal. Anak usaha PT Eatertainment Indonesia Tbk ini, memulai bisnisnya di tahun 2000. Dua tahun kemudian, mereka baru menawarkan waralabanya. Hanya, berbeda dengan gerai piza impor, Papa Ron’s lebih menyasar kalangan menengah bawah.

KONTAN pernah menulis waralaba ini pada Maret 2007. Pada saat itu, jumlah gerainya berjumlah 46 gerai. Namun, saat ini jumlah gerainya telah mengalami penyusutan menjadi tinggal 34 gerai. “Sejak 2007 hingga saat ini, kami telah menutup sekitar 12 gerai Papa Ron’s. Tapi, selain gerai yang tutup, kami juga terus membuka gerai baru,” kata Noragraito, Direktur Operasional Papa Ron’s.

Setelah melakukan evaluasi terhadap kinerja dan komitmen investor dalam mengelola gerai, penutupan gerai-gerai itu terpaksa dilakukan. “Ada yang memang kami tutup dan ada juga yang ditutup karena permintaan investor. Namun, ada juga yang minta dilanjutkan,” katanya.

Evaluasi kerja sama antara pemilik merek waralaba dengan investor tersebut biasanya dilakukan setiap delapan tahun sekali. Noragraito bilang, sebagian penutupan gerai Papa Ron’s lantaran komitmen investor dalam mengelola gerainya sudah berkurang. “Kalau dia tidak menjaga merek kami, ya, untuk apa,” katanya. Oleh karena itu, kini, Papa Ron’s lebih selektif dalam memilih calon terwaralaba.

Meski mengalami pasang surut, dalam penilaian Noragraito, usaha piza masih sangat menjanjikan. Ia melihat permintaan investor untuk bisa menjadi terwaralaba piza Papa Ron’s masih terus berdatangan.

Bahkan, menurut rencana, Papa Ron’s akan membuka gerai barunya di Ternate dan Kelapa Gading, Jakarta pada Januari 2011. “Kami menargetkan pembukaan lima gerai baru setiap tahun,” ungkap Noragraito.

Hanya, pembukaan gerai baru tersebut akan difokuskan di wilayah timur Indonesia. Seperti Ternate, Papua, Ambon hingga Nusa Tenggara Timur. “Belum ada pesaing yang masuk di wilayah timur,” bisiknya.

Bagi calon investor yang berminat membuka gerai di wilayah itu, Papa Ron’s mensyaratkan investor harus merupakan penduduk lokal di wilayah masing-masing. Maklum, selain lebih mengetahui medan, ia berharap investor bisa terjun langsung membesarkan usahanya.

Noragraito bilang, investor harus menyediakan dana investasi antara Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar. Selain itu, manajemen juga akan memungut biaya royalti sebesar 5% dan fee sebesar US$ 25.000 untuk masa kerja sama delapan tahun. “Jika mereka menjalankannya dengan benar, dalam waktu 3,5 tahun modal sudah pasti kembali,” tutur Noragraito meyakinkan.

Piramizza

Tawaran kemitraan piza satu ini cukup menarik perhatian. Sebab, produk piza yang dicetuskan oleh Ramadhan Yasmanto tahun 2008 ini tidak bulat seperti piza pada umumnya, melainkan berbentuk kerucut seperti es krim.

Sebelum ditawarkan kepada investor, pada tahun 2009, ia terlebih dulu membuat lima gerai percontohan di Surabaya. Namun, dalam perjalanannya, manajemen Piramizza beralih dari Ramadhan ke Hendy Setiono.

Asal tahu saja, Hendy yang berkerabat dengan Ramadhan adalah pemilik PT Baba Rafi Indonesia, perusahaan yang juga memiliki sejumlah merek waralaba lain.

Di tangan Hendy, usaha waralaba Piramizza berjalan cukup pesat. Pasalnya, Hendy menawarkan sistem waralaba yang berbeda.

Setiap calon mitra cukup menyetorkan modal investasi sebesar Rp 200 juta tanpa harus menjalankan operasional atau manajemen. PT Baba Rafi yang akan bertindak sebagai manajemen dalam menjalankan operasi gerai.

Menariknya lagi, hanya dengan dana Rp 200 juta itu, investor bisa mendapatkan lima gerai sekaligus. Tak heran, jika kemitraan yang ditawarkan tersebut laris manis, bak kacang goreng.

Apalagi, manajemen Baba Rafi tak mengenakan biaya royalti. Tapi, Baba Rafi menjalankan sistem bagi hasil bersama mitra dengan komposisi 50:50 dari laba bersih yang didapat dari lima gerai yang beroperasi. “Respon masyarakat sangat bagus, gerai mitra mencapai 30 unit di bulan keempat ketika kami buka,” kata Rizky Hening, Koordinator Pemasaran PT Baba Rafi Indonesia.

Namun, lantaran calon mitra banyak yang datang, manajemen pun kewalahan melayani permintaan tersebut. Akhirnya, pengelola Piramizza mengubah konsep kemitraannya. Dari yang awalnya bisa mendapatkan lima gerai, kini investor Piramizza hanya mendapatkan satu gerai.

Sebagai konsekuensinya, Baba Rafi menurunkan biaya investasinya dari Rp 200 juta menjadi Rp 45 juta. Tapi, itu hanya berlaku untuk wilayah Jawa. Untuk calon mitra yang berada di luar Jawa, Baba Rafi mengenakan tambahan biaya untuk pengiriman peralatan dan pelatihan pegawai. “Biaya tambahan berkisar Rp 5 juta-Rp 10 juta tergantung jarak kotanya,” ujar Rizky.

Selain itu, kini manajemen Piramizza mengutip supporting fee dari mitra untuk kontrol kualitas dan pengelolaan sebesar 5% dari omzet tiap bulan. Rizky bilang, dengan omzet tiap gerai per bulan Rp 12 juta, mitra bisa balik modal sekitar 1,7 tahun.

Dengan sistem baru ini, Piramizza mampu menggaet sekitar 30 mitra. Saat ini sudah ada 60 gerai Piramizza yang tersebar di Jabodetabek, Medan, Surabaya, Malang dan Pekanbaru.

Baba Rafi rajin menambah variasi produk. Selain piza kerucut, gerai Piramizza juga menjual burger, hotdog, sandwich yang semuanya dipanggang dan Piramizza mini bernama java con.

Dengan semua pembaharuan itu, manajemen berharap merek Piramizza bisa terus bertahan di sektor kuliner Indonesia. “Tahun ini kami masih terus melakukan edukasi pasar terhadap produk Piramizza yang kami tawarkan,” imbuh Rizky.

Pizza Rakyat

Sesuai dengan nama usaha yang diusungnya, Pizza Rakyat, Budi Kusworo, sang pemilik, berkeinginan menghadirkan pizza yang lebih merakyat. Maksudnya, menu pizza yang selama ini melekat sebagai makanan kalangan menengah ke atas dan hanya tersaji di restoran mewah ini, juga bisa dinikmati semua kelas. “Bagaimana caranya membuat pizza yang rasanya nikmat, tapi bisa dinikmati semua orang,” ujarnya.

Maka, Budi pun menciptakan beberapa varian rasa pizza. Sebut saja, pizza sosis, pizza sayur, pizza daging sapi giling, dan pizza kombinasi. Namanya juga Pizza Rakyat, tentu saja harganya ramah di kantong. Budi menjual pizza kreasinya dengan harga Rp 9.000-Rp 14.000 per loyang.

Budi membuka gerai pertamanya di Pamulang, Tangerang Selatan akhir 2009 lalu. Melihat animo masyarakat yang cukup besar, ia pun menawarkan kemitraan pada Juli 2010.

Saat ini, Pizza Rakyat sudah memiliki dua mitra yang membuka usaha di kota Bekasi dan Palembang. Pizza Rakyat menawarkan dua paket kemitraan.Pertama, paket dengan nilai Rp 9 juta. Mitra akan mendapatkan gerai, satu set peralatan, bahan baku awal untuk 120 loyang pizza, pelatihan, dan media promosi.

Kedua, paket master senilai Rp 17 juta. Mitra yang memilih paket ini bakal memperoleh fasilitas yang sama dengan paket pertama. Tapi tentu, paket ini memiliki keistimewaan untuk menjadi perwakilan (master) Pizza Rakyat yang menguasai minimal satu kabupaten atau kota di tempat membuka usaha. Jika ada mitra yang berniat bergabung di daerah itu, si master yang mengurusnya.

Dalam pola kemitraan ini, Budi mengaku, dia sama sekali tidak memungut biaya royalti sepeser pun. Tapi, sebagai gantinya, dia memungut biaya dukungan atau supporting fee sebesar Rp 35.000 per bulan dari setiap mitra setelah si mitra tiga bulan beroperasi. “Master akan mendapat bagian Rp 25.000 dari mitra di bawahnya,” kata dia.

Syaiful Anwar, salah satu mitra Pizza Rakyat yang membuka gerai di Jati Waringin, Bekasi sekitar satu bulan lalu, mengungkapkan, saban hari ia mampu menjual 15-20 loyang. “Varian rasa yang lebih banyak disukai masyarakat adalah sosis,” ujarnya.

Metro Chicken & Pizza

Usaha Pizza Metro Chicken & Pizza yang berpusat di Jombang, Jawa Timur ini dirintis Agung Wicaksono sejak dua tahun lalu. Dia mulai menawarkan kemitraan sejak empat bulan lalu. Dan kini, dia baru menggaet satu mitra yang yang membuka gerai di Jombang.

Tawaran kemitraan Metro Chicken & Pizza cukup premium dibandingkan dengan Pizza Rakyat. Sebab, nilai paket investasinya mini resto yang ditawarkannya Rp 200 juta. Investasi itu sudah mencakup franchise fee selama 5 tahun dan beberapa fasilitas, seperti booth, peralatan lengkap, bahan baku awal dan pelatihan pengenalan produk.

Selama ini, Agung bilang, gerainya bisa menjual 50 hingga 100 loyang per hari. Harganya bervariasi, untuk ukuran kecil sebesar Rp 13.500, ukuran medium Rp 28.000, dan ukuran besar Rp 49.000 per loyang.

Jika mitra mampu menjual rata-rata 75-100 loyang pizza beragam ukuran per hari, Metro Chicken & Pizza menjanjikan si mitra bisa balik modal sekitar tujuh bulan sampai 8 bulan, dengan omzet sekitar Rp 4 juta per hari. Tak hanya pizza, sesuai dengan namanya Metro Chicken & Pizza juga menawarkan menu ayam goreng.

Amir Karamoy, Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba & Lisensi Indonesia, mengingatkan, memilih tawaran kemitraan bukan semata-mata dilihat dari besaran investasi yang ditawarkan. Tapi, siapa pihak yang menawarkan kemitraan tersebut. (peluangusaha.kontan.co.id)

Peluang Bisnis Sangkar Burung

Bagi kolektor burung perlombaan, memiliki sangkar burung yang cantik dan unik mampu menaikkan gengsi di komunitasnya. Ini merupakan peluang bisnis bagi para perajin sangkar burung eksklusif. Omzetnya bisa Rp 15 juta per bulan.

Layaknya sebuah pigura yang bisa memperindah lukisan di kanvas, begitu pula fungsi sangkar burung. Seekor burung peliharaan akan terlihat lebih menawan jika berada di dalam sangkar nan cantik. Apalagi, jika burung itu diperlombakan, penampilan sangkar menjadi salah satu elemen pendongkrak gengsi si pemiliknya.

Wajar, jika sangkar yang unik dan eksklusif kerap dicari para kolektor burung hewan. Ini memberi berkah tersendiri bagi para perajin sangkar burung, seperti dirasakan Nurjianta di Bantul, Yogyakarta.

Nurjianta mengkhususkan diri membuat dan menjual sangkar burung perkutut dan tekukur. Sebab, kedua jenis burung ini yang paling sering diperlombakan.

Lantaran khusus untuk burung perlombaan, wujud sangkar yang dibuat Nurjianta agak berbeda dibandingkan dengan sangkar burung kebanyakan yang ada di pasaran. Perbedaannya, antara lain tampak pada kehalusan kayu, model ukiran, serta mahkota sangkar burung yang dipoles lebih unik. “Dudukan untuk tempat bertengger si burung pun disesuaikan,” katanya.

Nurjianta menggunakan kayu sengon berkualitas baik sebagai bahan baku pembuatan kerangka sangkar. Dia juga membuat elemen ukiran pada mahkota atau di sisi sangkar agar efek sangkar lebih eksklusif. Tak jarang, dia juga melukis sangkar dengan berbagai tema sesuai pesanan si empunya burung.

Dia menjual sangkar burung eksklusif seharga Rp 500.000 hingga Rp 3 juta per unit. “Tergantung kerumitan ukiran, gambar, dan ukuran sangkar,” ujarnya.

Dalam sebulan, Nurjianta bisa memproduksi dan menjual sekitar 10 sangkar burung yang dibanderol seharga Rp 500.000 dan empat sangkar dengan harga di atas Rp 1,5 juta per unit. Omzetnya dari bisnis ini Rp 15 juta per bulan. “Margin sekitar 25%,” katanya.

Lelaki yang sudah menjadi perajin sangkar burung sejak 1999 ini mendapat pesanan pembuatan sangkar burung eksklusif dari berbagai daerah. Di antaranya, Bantul dan sekitarnya, Jakarta, dan Surabaya, Jawa Timur.

Berkah dari bisnis ini juga dinikmati Benny Santoro di Kudus, Jawa Tengah. Berbeda dengan Nurjianta, Benny tidak menggunakan bahan baku sangkar burung dari kayu sengon atau sejenisnya. “Saya lebih suka membuat sangkar dari kayu jati,” katanya. Sebab, selain terlihat cantik, sangkar juga lebih kokoh.

Dengan bahan baku kayu jati, Benny mematok harga jual sangkar burung eksklusif buatannya jauh lebih mahal dibanding sangkar buatan Nurjianta. Ambil contoh, satu sangkar burung eksklusif buatan Benny setinggi 2 meter dibanderol seharga Rp 18,5 juta per unit.

Namun, sesuai dengan harga jualnya, sangkar burung itu juga bernilai seni tinggi. Misalnya, ada ukiran bermotif jawa klasik di atas mahkotanya. Sangkar ini juga punya kaki, sehingga mudah dipindah-pindahkan.

Sayangnya, sampai saat ini Benny hanya memproduksi sangkar berdasarkan pesanan pelanggan. Dalam sebulan, dia hanya bisa memproduksi dua sangkar eksklusif. Maklum, pengerjaan satu sangkar bisa makan waktu 1,5 bulan.

Sampai saat ini, pembeli sangkar burung buatan Benny tidak hanya berasal dari sekitar lokasi usahanya tapi juga dari berbagai daerah di luar Pulau Jawa. Di antaranya dari Medan, Sumatra Utara. (peluangusaha.kontan.co.id)

Peluang Bisnis Kursi Pijat

Usaha kursi pijat elektronik menjamur di pusat-pusat perbelanjaan. Usaha ini terbilang sederhana karena hanya bermodal peralatan kursi pijat listrik. Biaya operasional paling besar adalah untuk menyewa tempat dan ongkos listrik.

Badan pegal dan capek setelah jalan-jalan di pusat perbelanjaan? Jangan khawatir, sekarang, di mal-mal sudah banyak penyedia jasa kursi pijat otomatis. Cukup membayar ongkos Rp 5.000, Anda sudah bisa menikmati pijatan otomatis di sekujur tubuh selama sekitar 15 menit.

Walau cuma sebentar, tapi lumayanlah untuk menghilangkan penat. Kursi pijat ini memijat bagian leher, punggung, dan betis. Selain kursi pijat, pengelola kursi pijat biasanya juga menyediakan mesin pijat kaki atau refleksi kaki. Untuk menikmati pijatan di kaki ini, pengunjung juga hanya perlu menyediakan uang Rp 5.000.

Karena murah meriah, jasa kursi pijat cukup ramai pengunjung. Bahkan, di akhir pekan, kadang, pengunjung harus rela antre. Banyak orang ketagihan dengan pijatan si kursi listrik ini.
Contohnya Zaenal, seorang warga Depok. Setiap kali pergi ke mal, ia selalu mampir menikmati kursi pijat otomatis ini.

Sembari menunggu istri belanja, ia memilih melemaskan otot di kursi pijat. “Biasanya nambah, jadi dua kali pijat,” kata Zaenal yang kerap tertidur di kursi pijat ini terkekeh.

Pengunjung pusat perbelanjaan yang bejibun, plus ongkos pijat yang murah, membuat bisnis kursi pijat ini sangat menjanjikan. Tak heran bila saat ini usaha kursi pijat muncul dimana-mana. Bahkan, nyaris di semua pusat perbelanjaan muncul usaha kursi pijat ini.

“Pengguna jasa kursi pijat ini selalu ada saja setiap hari,” kata Arif Budiman, pengelola usaha kursi pijat Bipoli yang berpusat di Tangerang, Banten.

Kendati semakin booming, Arif menilai, peluang di bisnis ini masih terbuka. Hanya, khusus di Jakarta, menurutnya, masa emas usaha kursi pijat ini sudah lewat.

Arif mengungkapkan, dulu ketika ia mulai membuka usaha kursi pijat di Jakarta pada 2006, dalam sehari, minimal ada 90 pengunjung yang datang. Bahkan, ada salah satu gerai miliknya yang beromzet Rp 25 juta per bulan. Dengan omzet sebesar ini, modal pun bisa kembali dalam empat bulan saja. “Tapi sekarang balik modal bisa setahun,” ujarnya.

Meski demikian, jika dibuka di luar Jakarta, Arif yakin, usaha ini masih menjanjikan. Apalagi, bisnis ini juga minim risiko karena tidak membutuhkan banyak peralatan. “Peralatannya cuma kursi saja,” tuturnya.

Supaya keuntungan maksimal, Arif membuka gerai di sejumlah pusat perbelanjaan. Salah satu gerainya ada di ITC Permata Hijau, Jakarta Barat. Dari gerai ini, Arif mengaku meraup omzet sekitar Rp 9 juta-Rp 10 juta sebulan. Laba bersih yang mengalir ke kantongnya sekitar Rp 2,5 juta per bulan.

Selain di Jakarta, ia juga membuka gerai kursi pijat di sejumlah pusat perbelanjaan di daerah, seperti di Sukabumi, Cianjur, dan Cirebon. Nah, gerai-gerai di luar Jakarta inilah yang kini bisa menjaring omzet
Rp 25 juta per bulan. “Peminat kursi pijat di luar Jakarta masih tinggi,” katanya.

Yuni Herawati, pemilik Rosana Reflexy, sebuah perusahaan penyedia jasa kursi pijat di Jakarta, juga sudah menikmati fulus besar dari usaha ini. Yuni baru membuka jasa kursi pijat setahun terakhir.

Berbeda dengan Arif, Yuni masih fokus menggarap pasar Jakarta. Ia membuka gerai di sejumlah pusat perbelanjaan, seperti ITC Kuningan, Hero Menteng, Thamrin City, dan ITC Cempaka Mas.

Dari sejumlah lokasi itu, Yuni mengantongi omzet lumayan. Di ITC Kuningan, misalnya, Yuni meraup omzet Rp 8 juta sampai Rp 10 juta per bulan. Sayang, Yuni enggan membeberkan laba bersih dari omzet tersebut. “Yang jelas, balik modal bisa tercapai hanya dalam waktu 10 bulan saja,” ujarnya.

Anda berminat terjun ke bisnis pijat otomatis ini? Sebelum memulai usaha ini, Anda perlu memenuhi beberapa syarat. Simak ulasannya berikut ini.

Modal

Modal untuk berbisnis jasa kursi pijat ini memang tidak sedikit. Namun, usaha ini terbilang sederhana karena tidak membutuhkan peralatan apapun selain kursi pijat. Praktis, Anda hanya perlu mengeluarkan dana untuk membeli kursi pijak elektronik.

Tidak sulit menemukan penjual kursi pijat itu. Kursi pijat ini banyak dijual di toko-toko alat-alat kesehatan yang ada di berbagai pusat perbelanjaan. Selain itu, kursi pijat ini juga bisa dibeli via internet. Anda bisa memilih yang masih baru maupun kursi pijat bekas.

Arif mengaku membeli kursi pijat dari seorang rekanan di Jakarta. Ia membeli kursi pijat otomatis tersebut seharga Rp 8 juta per unit.

Yuni menambahkan, kini, harga kursi pijat semakin beragam, tergantung dari mereknya. Kisaran harga yang berlaku saat ini adalah antara Rp 8 juta hingga Rp 12 juta per unit.

Kalau kita mengintip penawaran di internet, harga yang ditawarkan lebih bervariasi lagi. Di dunia maya, ada yang menawarkan kursi pijat seharga Rp 7 juta per unit. Namun, ada pula yang menjualnya dengan harga mencapai Rp 36 juta per unit.

Selain kursi pijat, peralatan lain yang bisa dibeli adalah alat pijat refleksi kaki elektronik. Harga alat ini berkisar antara Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta.

Anda juga harus menyiapkan ongkos perawatan untuk si kursi pijat ini. Paling tidak setiap enam bulan sekali, kursi pijat elektronik ini harus diservis. Salah satu yang harus dilakukan secara rutin adalah mengganti dinamo. “Suku cadang dinamo bisa Anda beli di sini, harganya sekitar Rp 250.000,” kata Arif.

Lokasi dan pasar

Setelah memiliki peralatan, tentu, Anda harus memiliki lokasi gerai yang strategis. Para pelaku bisnis ini menyarankan Ada memilih lokasi yang ramai pengunjung. Pusat perbelanjaan salah satunya.

Pilihan lain, Anda juga bisa membuka usaha ini di tempat peristirahatan (rest area) yang kini semakin menjamur. Tetapi, berdasarkan pengalaman para pelaku bisnis ini, gerai kursi pijat di tempat peristirahatan itu tak terlalu ramai.

Namun, mengambil lokasi di mal juga bukan jaminan. Kondisi pusat perbelanjaan itu sangat menentukan ramai-tidaknya bisnis kursi pijat Anda. “Kalau pas mal ramai, pemakai jasa layanan kursi pijat ini juga ramai,” kata Nur, seorang karyawan gerai kursi pijat di Plaza Blok M, Jakarta Selatan. Pun begitu sebaliknya.

Biasanya, penikmat layanan ini meningkat pesat kala akhir pekan tiba. Di tempat Nur bekerja, misalnya, di hari biasa, jumlah konsumen datang hanya sekitar 10 sampai 20 orang per hari. Tapi, di akhir pekan, jumlahnya bisa dua kali lipatnya, sekitar 50 orang per hari.

Begitu pula di gerai Rosana Reflexy milik Yuni. Setiap akhir pekan, ia meraup omzet melimpah. Di hari biasa, gerai milik Yuni di ITC Kuningan bisa melayani 30 orang per hari. Sedangkan di akhir pekan, tak kurang dari 60 pengunjung datang per hari. Kondisi serupa juga dia-lami Arif. “Saat hari kerja memang agak sepi,” katanya.

Jika kita cermati, segmen konsumen pengguna kursi pijat ini cukup luas. “Pasarnya orangtua maupun anak muda. Mereka yang banyak memakai layanan ini,” kata Yuni.

Arif menambahkan, sebagian besar pemakai layanan kursi pijat ini sudah menjadi pelanggan setia. “Awalnya mereka mencoba karena penasaran. Tapi, kalau sudah suka, biasanya datang lagi saat mengunjungi mal ini,” katanya.

Strategi pemasaran

Karena pasar kursi pijat sangat bergantung pada pengunjung mal, memilih pusat belanja yang ramai pengunjung menjadi syarat utama untuk menjalankan usaha ini.

Nah, setelah menemukan mal yang memenuhi kriteria itu, Anda harus memilih lokasi yang paling strategis. Arif menyarankan Anda membuka gerai di dekat jalur lalu lalang pengunjung. Dengan lokasi seperti ini, Anda tak perlu repot melakukan promosi.

Ambil contoh Bipoli yang membuka gerai di lantai dasar pusat perbelanjaan. Di lantai itu, Bipoli memilih membuka gerai di dekat tangga berjalan alias eskalator.

Selain lantai dasar, tempat lain yang direkomendasikan adalah areal di sekitar tempat istirahat atau makan seperti food court. “Biasanya, kalau sudah lelah, pengunjung ingin beristirahat dan makan,” kata Arif.

Para pengunjung food court yang ingin melepas lelah ini menjadi sasaran sebagian gerai Bipoli. Gerai kursi pijat Rosana di ITC Kuningan juga berlokasi di sekitar food court.

Yang tak kalah penting, pelayanan juga harus ramah. “Sebagai karyawan, kami memang dituntut ramah dan komunikatif kepada pelanggan,” imbuh Nur.

Para pebisnis kursi pijat ini mengakui bahwa persaingan di bisnis ini cukup ketat. Di satu pusat perbelanjaan, Anda bisa menemukan beberapa gerai kursi pijat. Toh, mereka mengaku tetap bisa menjaring konsumen. “Pengunjung mal kan banyak, pasti kebagian juga rezeki,” ujar Arif.

Biaya bulanan

Saat menjalankan usaha ini, Anda juga harus menghitung ongkos operasional yang harus dikeluarkan per bulan. Biaya operasional terbesar adalah sewa tempat. Maklum, sewa tempat di mal memakan biaya besar. Dalam sebulan, Arif harus menyisihkan Rp 3 juta untuk membuka satu gerai ukuran empat meter persegi di ITC Permata Hijau.

Gerai sebesar ini cukup untuk menempatkan empat buah kursi pijat. Selain sewa tempat, listrik juga cukup boros. Dengan kursi yang membutuhkan daya listrik sebesar 220 watt, pengeluaran listrik per bulan bisa mencapai Rp 300.000 sampai Rp 400.000.

Tak jauh berbeda, Yuni, harus keluar ongkos Rp 3,5 juta sebulan untuk menyewa areal empat meter persegi. Di gerai seluas itu, Yuni menaruh tiga buah kursi pijat. “Biaya tempat itu sudah termasuk ongkos listrik,” tuturnya.

Biaya lain adalah gaji karyawan. Arif maupun Yuni hanya mempekerjakan seorang karyawan di setiap gerai. (peluangusaha.kontan.co.id)

Peluang Bisnis Kemitraan Life Style

Pendapatan besar dari investasi merupakan dambaan setiap pelaku usaha. Apalagi jika investasi itu ada bonusnya: badan jadi fit dan sehat. Kombinasi inilah yang ingin ditawarkan waralaba Cohen’s Lifestyle Centre Indonesia (Cohen’s Indonesia).

Waralaba asal Amerika Serikat yang selama 25 tahun menawarkan program penurunan berat badan ini, hadir di Indonesia sejak Februari 2010. Setelah beroperasi sekitar enam bulan, Cohen’s Lifestyle mulai menawarkan waralaba untuk memperluas jaringan bisnisnya.

Total nilai investasi yang mesti disiapkan terwaralaba untuk membuka cabang Cohen’s Lifestyle sebesar Rp 500 juta. “Ini sudah termasuk franchise fee sebesar 60% dari total investasi,” ujar Betty Goenawan, pemegang master franchise Cohen’s Indonesia.

Sayang, dia tidak mau menjelaskan secara detil rincian paket investasi yang akan diperoleh terwaralaba. Yang jelas, dia mengklaim, titik impas usaha ini bisa dicapai paling lama tiga tahun. “Bahkan, bisa lebih cepat dari target maksimal tiga tahun,” tandasnya.

Cohen’s Lifestyle Centre juga akan mengenakan royalty fee yang dipungut dari omzet bulanan terwaralaba. Persentase besaran royalty fee ini tergantung negosiasi antara si pewaralaba dengan mitranya. “Patokan di setiap daerah berbeda-beda,” kata Betty.

Mengenai omzet, Cohen’s Indonesia sudah memiliki estimasi. Terwaralaba bisa meraup keuntungan kotor dari bisnis konsultasi ini antara Rp 30 juta hingga Rp 40 juta per bulan. Nilai omzet sebesar ini masih mungkin dicapai, bila melihat biaya keanggotaan yang mesti ditebus pelanggan sebesar Rp 8,8 juta. “Tapi keanggotaan ini berlaku seumur hidup,” jelas Betty.

Yang pasti, seluruh sistem operasional dan finansial, termasuk desain interior gerai terwaralaba, akan mengikuti standar baku dari pihak Cohen’s Lifestyle Centre pusat. Selain itu, master franchise akan mendampingi terwaralaba dalam menyeleksi calon karyawan. “Kami juga akan memberikan pelatihan dan materi pelatihan berasal dari pusat,” kata Betty.

Berat harus turun 12 kg

Saat ini, Cohen’s Indonesia mengincar calon terwaralaba yang siap untuk membuka gerai di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya. “Peminatnya cukup tinggi di kota-kota besar itu,” klaim dia.

Cohen’s Lifestyle Centre sendiri telah hadir di Singapura, Filipina, Malaysia, Taiwan, Australia, Afrika Selatan, dan Eropa, dan di Amerika Serikat, negara asal Rami Cohen, sang pendirinya. Nah, Cohen’s Indonesia merupakan gerai waralaba internasional ke-12.

Cohen’s Lifestyle melihat pasar Indonesia masih cukup besar di tengah makin meningkatnya kepedulian hidup sehat. Kini, banyak orang yang ingin terus bugar. Cohen’s memilih untuk menggaet kalangan masyarakat kelas menengah atas, baik pria maupun wanita. “Yang penting usianya antara 15 tahun sampai 65 tahun,” kata Betty.

Sebelum membeli waralaba ini, calon terwaralaba mesti bergabung dulu dengan Cohen’s Lifestyle Centre Indonesia. Syaratnya, dia juga harus berhasil menurunkan berat badan minimal 12 kilogram (kg).

Tak hanya meraup untung, dengan menjadi terwaralaba Cohen’s Indonesia, Anda turut berperan meningkatkan kualitas kesehatan klien yang berdomisili di wilayah Indonesia. Pasalnya, Cohen’s Lifestyle Centre Indonesia bergerak di bidang konsultasi kesehatan, yakni melalui program penurunan berat badan dan lemak secara cepat.

Program Cohen’s Lifesyle terdiri dari tiga tahap lanjutan, yakni tahap menghilangkan asupan makanan buruk (eating plan), pengenalan asupan makanan normal (refeeding), dan menjalankan atau menjaga asupan makanan normal (management guideline). “Isi program hasil analisis Dr Cohen, seperti menu makanan, akan diberikan sesuai dengan profil pelanggan, sehingga program diet tiap klien akan berbeda,” ujar Betty.

Itta Supit Ginting, Ketua Umum Waralaba dan Lisensi Indonesia, menyatakan, bisnis konsultasi terkait kesehatan, baik kulit, kecantikan, hingga berat badan berprospek besar di pasar Indonesia. “Karena pasarnya tengah berkembang,” imbuh dia.

Itta juga menilai, nilai investasi Rp 500 juta termasuk wajar, mengingat bidang yang digeluti oleh waralaba tersebut. Namun, ia mengingatkan, terwaralaba harus melihat efektivitas investasi tersebut. “Biasanya konsultan juga dibekali pengetahuan khusus terkait bidang usaha, yang sifatnya mutlak,” ucapnya.

Untuk memenangkan persaingan dan menjaga kelangsung bisnisnya, Cohen’s Indonesia mesti menunjukkan nilai lebih dari para pesaing yang bergerak di bidang yang sama, seperti berbagai klinik dari Prancis. “Kalau dengan pemain lokal mereka jelas lebih unggul,” tutur Itta.

Peluang Bisnis Kemitraan Shusi

Haik, ada tawaran sushi dari Semarang

Mengupas penawaran kemitraan Sushi Don Bouri asal Semarang, Jawa Tengah.

Kini, orang tak susah lagi jika ingin menyantap makanan berbau Jepang. Berbagai gerai, mulai dari model gerobak, kafe, dan restoran, menjajakan makanan, seperti bento, shabu-shabu, katsu, dan sushi.

Ada yang membuka usahanya secara mandiri, tapi banyak pula tawaran waralaba atau kemitraan makanan asal Jepang ini. Salah satu usaha kemitraan yang menjajakan makanan ini adalah Sushi Don Bouri yang berpusat di kota Semarang.

Beroperasi sejak tahun 2006, saat ini Sushi Don Bouri memiliki empat outlet. Tiga gerai milik sendiri dan satunya milik mitra. “Semuanya berlokasi di Semarang,” kata Yenny Sutanto, pemilik usaha Sushi Don Bouri.
Agar bisa menjadi mitra Don Bouri, Yenny menawarkan paket investasi sebesar Rp 50 juta. Nilai investasi itu untuk membuka gerai foodcourt di pusat perbelanjaan. Memang, hingga kini dia baru menawarkan satu jenis paket kemitraan itu.

Dengan dana investasi sebesar itu, calon mitra akan memperoleh gerai Sushi Don Bouri beserta perlengkapan memasak, alat makan, dan papan nama. Investasi untuk kerjasama selama tiga tahun tersebut juga memberikan pelatihan pengetahuan tentang produk selama tiga bulan. “Besarnya royalty fee Rp 1,5 juta tiap bulan,” kata Yenny.

Namun, royalty fee itu belum termasuk biaya kontrol kualitas rutin tiap bulan terhadap semua mitra. Menurut Yenny, kontrol kualitas menjadi hal yang mutlak dilakukan. Sebab, sushi adalah makanan sehat dan higienis. Itulah yang membuat sushi menjadi makanan kegemaran semua kalangan, mulai dari kelas bawah, menengah hingga kelas atas.

Yenny mengaku, saat ini bisa menjual 200 porsi makanan sushi per hari di tiap-tiap gerainya. Penjualan bisa bertambah saat libur akhir pekan atau hari libur nasional. Selain menjual sushi, dia menawarkan menu Jepang lain seperti bento. Namun, dua jenis makanan ini dijual dalam rentang harga Rp 10.000-Rp 25.000 per porsi. “Kebanyakan menu dijual pada harga Rp 15.000 per porsi,” imbuhnya.

Dengan total penjualan tersebut, Yenny mampu meraup omzet sebesar Rp 90 juta per bulan. Jika kita pukul rata dan membandingkannya dengan modal, usaha ini bisa balik modal dalam jangka waktu tiga hingga lima bulan.
Untuk memperoleh omzet sebesar itu, ada banyak rambu yang perlu diperhatikan. Apalagi, masih ada bahan baku impor seperti ikan salmon. Agar bahan baku ini tetap terjaga kualitasnya, order bahan baku oleh mitra dibatasi. “Biasanya mitra memesan tiga hari atau seminggu sekali,” kata Yenny.

Biaya pengiriman jadi tanggungan mitra. Ia menjamin bahan baku tiba sesuai jadwal tanpa perubahan kualitas.
Satu-satunya mitra Sushi Don Bouri saat ini adalah Ferry Pratikno. Dia sudah menjadi mitra usaha ini sejak April 2010. Alasannya, dia melihat potensi bisnis makanan Jepang cukup besar, utamanya sushi.

Itu dibuktikannya sendiri dengan meraih omzet antara Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per hari. “Harga Rp 15.000-Rp 20.000 per porsi masih terjangkau oleh konsumen yang kebanyakan pelajar dan mahasiswa,” imbuhnya.

Dengan investasi sebesar Rp 50 juta, Ferry mengaku saat ini hampir seluruh modalnya sudah kembali. Dia tak membuka gerainya di area foodcourt pusat perbelanjaan. “Jadi, saya hanya perlu memenuhi gerai dengan meja dan kursi sebagai tambahan modal awal,” ungkapnya.

Berlokasi di area kampus Universitas Diponegoro, Semarang, Ferry optimistis gerainya bakal makin ramai. Operasionalnya dari pukul 10.00 WIB sampai 22.00 WIB. Kini, dia memperkerjakan 11 karyawan dengan sistem kerja dua shift. (peluangusaha.kontan.co.id)

Peluang Bisnis Sedotan Plastik

Januari 4, 2011 1 komentar

Curah hujan yang cukup tinggi pada tahun ini membuat permintaan sedotan plastik di dalam negeri merosot. Omzet salah satu produsen sedotan di Tangerang anjlok hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan saat cuaca sedang panas.

Musim hujan tidak hanya menimbulkan berbagai wabah penyakit. Tapi, masa itu juga mendatangkan musibah bagi para pelaku bisnis sedotan minuman di dalam negeri.

Simak saja pengakuan Husin Kurniawan, pemilik PD King Plastik di Tangerang, Banten. Dia bilang, akibat tingginya curah hujan, sedotan produksi pabriknya tidak terserap habis oleh pasar. “Kalau cuaca dingin seperti ini, konsumsi masyarakat terhadap minuman dingin jadi berkurang,” katanya.

Buntutnya, kata Husin, permintaan sedotan plastik ikut merosot. Dia mengatakan, saat ini cuma memproduksi sekitar 150 kilogram (kg) sedotan per hari.

Setiap satu kilogram (kg) sedotan berisi sekitar 3.000 buah sedotan. Harga satu kilogram sedotan Rp 12.500. Dus, saat ini dia mampu mengantongi omzet sekitar Rp 56 juta setiap bulan.

Hal berbeda terjadi jika cuaca sedang panas. Husin bisa memproduksi hingga 450 kg sedotan per hari. Di masa itu, omzetnya pun ikut naik hingga tiga kali lipat atau mencapai Rp 168 juta per bulan. “Bahkan kalau cuaca sedang panas, saya sampai tidak bisa memenuhi permintaan,” ujarnya.

Saat ini Husin mempunyai dua mesin pembuat sedotan. Dari dua mesin tersebut, dia baru menggunakan satu unit mesinnya untuk memproduksi sedotan. Kapasitas produksinya sebanyak 450 kilogram per hari.

Sementara itu, satu unit mesin lainnya tengah dipersiapkan untuk membuat sedotan jenis baru. “Saya mau buat sedotan yang ada motif garisnya, agar lebih menarik,” imbuh dia.

Husin berharap, nilai jual produknya bisa terangkat dengan membuat sedotan yang motifnya lebih menarik. “Selisih harga dengan sedotan model lama Rp 500 per kg,” ujarnya.

Menurut Husin, para pelaku usaha sedotan seperti dirinya tidak bisa mengatrol harga produk terlampau tinggi. Pasalnya, persaingan di bisnis sedotan sudah terbilang ketat.

Apalagi, jika usahanya harus bersaing dengan pabrik sedotan plastik berskala lebih besar. “Bisa dapat untung Rp 500 saja sudah bagus,” katanya. Kalau dijual lebih mahal, produknya akan kalah saing dengan pabrik besar yang sudah bisa memproduksi bahan baku sendiri dari daur ulang sampah plastik.

Padahal, hingga saat ini pabriknya masih mengandalkan pasokan bahan baku dari produsen lain. Untuk memproduksi sedotan, Husin membutuhkan sekitar 1 ton bijih plastik per hari. Adapun wilayah pemasaran produknya di sekitar Jabodetabek.

Jika bisnis sedotan Husin tengah terserang ‘demam’ akibat musim hujan, lain cerita dengan bisnis yang dilakoni Chandra, pemilik AJ Supplier. Penjualannya masih stabil karena produsen sedotan di Bandung, Jawa Barat, ini membidik pasar menengah ke atas.

Dalam sehari, Chandra bisa menghabiskan bahan baku bijih plastik hingga 10 ton untuk pembuatan sedotan. “Itu baru untuk pasar lokal, belum termasuk untuk membuat sedotan yang diekspor,” imbuhnya.

Sayang, Chandra enggan menjelaskan jumlah sedotan yang bisa dihasilkan dari bijih plastik sebanyak 10 ton itu. Yang jelas, sebagian besar produknya dipasarkan ke luar negeri. Komposisinya 80% ekspor dan 20% lokal.

Untuk pasar lokal, Chandra memproduksi sedotan untuk sejumlah restoran dan kafe. Antara lain, J.Co Donuts & Coffee, Starbucks, dan Solaria. (peluangusaha.kontan.co.id)

Peluang Bisnis Daur Ulang Ban Bekas

Januari 4, 2011 3 komentar

Limbah ban bekas bisa diolah menjadi serbuk ban dan menjadi berbagai bahan baku aneka produk berbahan karet. Produsen serbuk ban bekas di Bekasi, Jawa Barat, sanggup menjual minimal 100 ton serbuk ban setiap bulan. Omzetnya bisa mencapai Rp 500 juta per bulan.

Terus melarnya harga karet di pasar dunia, telah menggebuk sektor bisnis yang mengandalkan komoditas alam itu. Contohnya adalah bisnis serbuk ban.

Para pengusaha ban selama ini mengandalkan pasokan bahan karet alam. Seiring kenaikan harga karet, mereka makin banyak melirik bahan baku karet hasil daur ulang ban bekas.

Bagi pebisnis daur ulang ban bekas, ini adalah peluang besar. Darmin Leo, pemilik CV Gemilang R&P Jaya Makmur di Bekasi, Jawa Barat, misalnya, sudah merasakan kenyalnya laba bisnis daur ulang ban. Dia telah menekuni bisnis daur ulang ban bekas ini sejak dua tahun lalu.

Selain membeli ban bekas dari perorangan, dia juga membelinya dari berbagai perusahaan di Sumatera dan Kalimantan. “Di sana banyak perusahaan perkebunan dan pertambangan yang menggunakan mobil besar,” katanya.
Darmin lantas menggiling ban bekas itu di mesin pencacah. Hasilnya berupa butiran atau serbuk ban. “Mesinnya hasil desain saya sendiri,” katanya.

Setelah menjadi produk serbuk ban, Darmin menjual produknya itu ke sejumlah perusahaan yang membutuhkan, di antaranya, perusahaan sepatu dan sandal. “Serbuk ban tersebut untuk diolah lagi menjadi alas produk,” imbuhnya.
Selain produsen alas kaki, pelanggan Darmin adalah produsen karpet yang menggunakan serbuk ban sebagai salah satu bagian dasar produknya agar tidak licin. “Serbuk ban juga banyak dipakai pengelola lapangan futsal. Efeknya agar karpet futsal tidak licin dan tidak sakit,” katanya.

Darmin mengaku, dalam sebulan bisa menjual minimal hingga 100 ton serbuk ban. “Saya bisa menyediakan berapa pun jumlahnya,” ujar dia.

Harga jualnya bervariasi, tergantung tingkat kehalusan serbuk. Semakin halus serbuk ban maka harganya makin mahal. “Harganya berkisar Rp 2.700-Rp 5.000 per kilogram (kg),” katanya.Hitung punya hitung, Darmin bisa meraup pendapatan berkisar Rp 270 juta hingga Rp 500 juta per bulan dari penjualan serbuk ban.

Pemain lain di bisnis serbuk ban adalah PT Alam Java Lestari di Surabaya, Jawa Timur. Zainal, staf pemasaran Alam Java, bilang, rata-rata serbuk ban yang banyak dipesan saat ini memiliki tingkat kehalusan 40 mesh-60 mesh. “Selain tingkat kehalusannya sedang, harganya juga ekonomis jika membeli banyak,” katanya.

Sama seperti Darmin, Zainal juga mematok harga serbuk ban yang paling halus atau berukuran 80 mesh sebesar Rp 5.000 per kg. Harga serbuk ban ukuran 40 mesh sekitar Rp 4.000 per kg. “Saat ini kami bisa menjual serbuk ban sekitar 4 ton per bulan,” ujarnya.

Dia mengaku, sebagian besar serbuk ban produksi Alam Java dijual ke perusahaan ban. Para produsen ban itu memanfaatkan serbuk ban untuk menekan biaya produksi ban baru.

Namun, tentu saja, kualitas ban yang terbuat dari serbuk ban bekas, berbeda dengan produk yang menggunakan bahan baku karet alam. Harga karet sekarang sekitar Rp 33.000 per kg untuk kualitas ekspor. Kalau beli serbuk ban cuma Rp 4.000 per kg. “Jadi, produsen akan lebih memilih pakai serbuk ban,” katanya.

Bisnis daur ulang ban bekas yang cukup menjanjikan ini juga dilakoni oleh Yogi. Warga Solo, Jawa Tengah, ini baru setahun terakhir menjalani bisnis daur ulang ban bekas.

Namun, banyaknya permintaan serbuk ban bekas membuatnya bisa menjual hingga 20 ton serbuk ban setiap bulan. Selama ini, Yogi memasarkan sebagian besar serbuk ban produksinya di wilayah Solo dan sekitarnya.
Harga jual serbuk ban di sekitar lokasi usahanya tidak jauh berbeda dengan di daerah lain. “Hanya, harga jual di daerah Solo lebih berfluktuasi,” imbuh Yogi.

Yogi optimistis, dengan semakin mahalnya harga karet di pasaran, berbagai perusahaan yang menggunakan karet sebagai bahan baku utama akan beralih ke serbuk ban bekas. Alasannya, selain harganya lebih miring dari karet alam, serbuk ban bisa digunakan sebagai pendukung bahan baku utama produk berbahan karet. “Memang bukan bahan baku utama, tapi sebagai pendukung bahan baku utama,” tandasnya. (peluangusaha.kontan.co.id)